Masyarakat dunia tengah berupaya mencapai kesepakatan baru mengatasi dampak perubahan iklim. Pada konferensi para pihak ke-21 (COP21) Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Paris, Desember 2015, para pihak mencoba menyelesaikan kesepakatan baru perubahan iklim pasca-2020. Agar dapat efektif, kesepakatan ini harus mencakup komitmen penurunan emisi dari tiap negara dan persyaratan yang jelas dalam pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) emisi, untuk menjamin terpenuhinya komitmen tersebut.
Untuk memenuhi persyaratan pelaporan emisi, Pemerintah Indonesia mengembangkan Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesian National Carbon Accounting System/INCAS). INCAS dirancang sebagai sistem perhitungan GRK level Tier 3 yang menyediakan pendekatan sistematik dan konsisten secara nasional dalam memantau emisi dan serapan GRK sektor berbasis lahan. INCAS menghasilkan informasi secara rinci emisi dan serapan GRK historis, tahun berjalan dan proyeksi ke depan. Dengan tingkat kerincian ini memungkinkan kita untuk lebih memahami, mengelola dan pada akhirnya mampu menurunkan emisi GRK secara lebih terarah dan efektif.
Pada acara seminar publik di Jakarta, 27 Maret 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung INCAS menjadi sistem perhitungan GRK Indonesia untuk sektor berbasis lahan, termasuk aktivitas REDD+. Dokumen ini disiapkan untuk memenuhi komitmen Menteri pada seminar tersebut, yaitu menyelesaikan hasil nasional dari INCAS dan disampaikan pada COP21 di Paris. Sejalan dengan persyaratan UNFCCC, INCAS menyajikan data GRK yang konsisten secara nasional, dapat digunakan sebagai bagian dari inventarisasi GRK nasional dan juga masukan bagi pembaruan Tingkat Referensi Emisi Hutan atau Tingkat Referensi Hutan (FREL/FRL) Indonesia, serta Komitmen Kontribusi Nasional (INDC) yang efektif.
Dokumen ini menyajikan hasil perhitungan tingkat nasional pertama INCAS; perhitungan tahunan emisi dan serapan GRK historis dari hutan dan lahan gambut Indonesia selama periode 2001 hingga 2012. Hasil tersebut mencakup estimasi emisi bersih GRK tahunan dari aktivitas utama yang terjadi di lahan hutan (aktivitas REDD+): (i) deforestasi, (ii) degradasi hutan, (iii) pengelolaan hutan berkelanjutan, dan (iv) peningkatan stok karbon hutan. Emisi dari oksidasi biologis dan kebakaran pada lahan gambut yang terganggu juga tercakup. Perhitungan mencakup semua gas rumah kaca yang relevan dan semua sumber karbon.
Metodologi yang digunakan mengikuti panduan Panel Perubahan Iklim Antar-Pemerintah (IPCC) yang mengkombinasikan metode Tier 3/Pendekatan 2 untuk lahan hutan dan Tier 2/ Pendekatan 2 untuk lahan gambut serta menggunakan data spesifik Indonesia dan data standar lainnya. Untuk lahan hutan, kejadian yang memicu terjadinya proses perubahan digunakan sebagai dasar dalam menghitung dampak gangguan terhadap kondisi hutan sebagai sumber emisi dan serapan GRK. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui aliran karbon antar beragam sumber karbon di hutan dan menduga emisi bersih GRK yang dilepaskan ke atmosfer. Untuk lahan gambut, emisi dari oksidasi biologis dan kebakaran diduga berdasarkan faktor emisi spesifik Indonesia selain nilai standar IPCC untuk areal lahan gambut yang terkena dampak. Pendugaan emisi GRK gambut akan disempurnakan ke depan menggunakan metode Tier 3 seperti halnya pada komponen lahan hutan saat ini.
Hasil analisis menunjukkan adanya variasi tahunan yang signifikan dalam emisi dan serapan GRK dari hutan dan lahan gambut di Indonesia; yang mencerminkan dampak pengelolaan lahan masa lalu, praktik pengelolaan yang berjalan dan fluktuasi kondisi cuaca, khususnya pada tahun-tahun kering dengan kejadian kebakaran yang lebih tinggi. Emisi bersih GRK yang dilaporkan mencakup semua jenis lahan, sumber karbon, gas terkait dan aktivitas di semua tingkatan.
Tahun dengan catatan emisi GRK tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan total 1,5 Gt CO2-e, dan terendah terjadi pada tahun 2001 dengan total 0,8 Gt CO2-e. Secara umum, emisi dari oksidasi biologis lahan gambut merupakan sumber emisi terbesar. Tiga provinsi yang memiliki rata-rata emisi tertinggi adalah Riau, Kalimantan Tengah dan Papua.
Emisi dari komponen hutan dari aktivitas REDD+ (tidak termasuk emisi dari tanah/ gambut) didominasi oleh degradasi hutan. Tahun dengan emisi tertinggi akibat degradasi hutan tercatat di tahun 2006, sebanyak 0,53 Gt CO2-e emisi GRK dilepaskan ke atmosfer di Indonesia. Terdapat fluktuasi emisi GRK yag signifikan dari aktivitas REDD+ lainnya, hal ini sebagian karena definisi yang dibangun untuk tiap aktivitas.
Emisi bersih GRK dari lahan terdeforestasi mencapai titik tertinggi dengan nilai total 288 juta t CO2-e pada tahun 2009 dan terendah 28 juta t CO2-e pada tahun 2001. Emisi bersih GRK dari lahan yang menjadi subjek pengelolaan hutan berkelanjutan berkisar antara 1,4 juta t CO2-e pada tahun 2001 hingga 11,6 juta t CO2-e pada tahun 2009. Peningkatan stok karbon hutan menyerap sebesar 126 juta t CO2-e GRK selama periode tahun 2001 hingga 2012.
Emisi tahunan lahan gambut (diperhitungkan dari oksidasi biologis dan kebakaran gambut) mencapai rata-rata sebesar 395 juta t CO2-e selama periode 2001-2012, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006, sebesar 502 juta t CO2-e. Emisi tanah mineral (dari sumber karbon organik tanah) rata-rata sebesar 8 juta t CO2-e selama periode analisis, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006, sebesar 17 juta t CO2-e.
INCAS menghasilkan perhitungan lebih rinci sehingga hasilnya diharapkan lebih bermanfaat dibanding pendekatan perhitungan GRK lain yang lebih sederhana (misalnya menggunakan metode Tier 1 atau 2). Selain hasil yang sudah dikemukakan di atas, emisi dan serapan GRK tahunan dapat dihasilkan berdasarkan tipe hutan, fungsi hutan, jenis tanah, penggunaan lahan selanjutnya dan sumber karbon. Lebih jauh lagi, dengan hasil dari INCAS ini, untuk pertama kalinya profil emisi GRK nasional Indonesia dapat dipilah kedalam elemen-elemen pembentuk perubahan stok karbon hutan; emisi non-CO2 dari pembakaran biomassa; emisi CO2 dan non-CO2 dari tanah mineral; oksidasi biologis, emisi N2O langsung, karbon organik terlarut (dissolved organic carbon) dan emisi CH4 dari lahan gambut terganggu; serta emisi CO2 dan non-CO2 dari kebakaran gambut.
Hasil yang disajikan dalam dokumen ini merupakan perhitungan level nasional emisi dan serapan GRK tahunan terlengkap dari hutan dan lahan gambut yang pernah dilaporkan di Indonesia. Untuk pertama kalinya pula emisi dan serapan GRK dihasilkan dan disajikan untuk setiap aktivitas utama REDD+ di Indonesia. Tingkat kerincian ini menjadi informasi terpercaya untuk mendukung para pengambil kebijakan di Indonesia dalam membuat keputusan mengenai pengelolaan profil emisi GRK serta merancang aksi mitigasi yang sejalan dengan kebutuhan nasional lain, termasuk kegunaannya dalam merencanakan pemanfaatan lahan berkelanjutan. 2015 Haruni Krisnawati, Rinaldi Imanuddin, Wahyu Catur Adinugroho, Silver Hutabarat
Untuk memenuhi persyaratan pelaporan emisi, Pemerintah Indonesia mengembangkan Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesian National Carbon Accounting System/INCAS). INCAS dirancang sebagai sistem perhitungan GRK level Tier 3 yang menyediakan pendekatan sistematik dan konsisten secara nasional dalam memantau emisi dan serapan GRK sektor berbasis lahan. INCAS menghasilkan informasi secara rinci emisi dan serapan GRK historis, tahun berjalan dan proyeksi ke depan. Dengan tingkat kerincian ini memungkinkan kita untuk lebih memahami, mengelola dan pada akhirnya mampu menurunkan emisi GRK secara lebih terarah dan efektif.
Pada acara seminar publik di Jakarta, 27 Maret 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung INCAS menjadi sistem perhitungan GRK Indonesia untuk sektor berbasis lahan, termasuk aktivitas REDD+. Dokumen ini disiapkan untuk memenuhi komitmen Menteri pada seminar tersebut, yaitu menyelesaikan hasil nasional dari INCAS dan disampaikan pada COP21 di Paris. Sejalan dengan persyaratan UNFCCC, INCAS menyajikan data GRK yang konsisten secara nasional, dapat digunakan sebagai bagian dari inventarisasi GRK nasional dan juga masukan bagi pembaruan Tingkat Referensi Emisi Hutan atau Tingkat Referensi Hutan (FREL/FRL) Indonesia, serta Komitmen Kontribusi Nasional (INDC) yang efektif.
Dokumen ini menyajikan hasil perhitungan tingkat nasional pertama INCAS; perhitungan tahunan emisi dan serapan GRK historis dari hutan dan lahan gambut Indonesia selama periode 2001 hingga 2012. Hasil tersebut mencakup estimasi emisi bersih GRK tahunan dari aktivitas utama yang terjadi di lahan hutan (aktivitas REDD+): (i) deforestasi, (ii) degradasi hutan, (iii) pengelolaan hutan berkelanjutan, dan (iv) peningkatan stok karbon hutan. Emisi dari oksidasi biologis dan kebakaran pada lahan gambut yang terganggu juga tercakup. Perhitungan mencakup semua gas rumah kaca yang relevan dan semua sumber karbon.
Metodologi yang digunakan mengikuti panduan Panel Perubahan Iklim Antar-Pemerintah (IPCC) yang mengkombinasikan metode Tier 3/Pendekatan 2 untuk lahan hutan dan Tier 2/ Pendekatan 2 untuk lahan gambut serta menggunakan data spesifik Indonesia dan data standar lainnya. Untuk lahan hutan, kejadian yang memicu terjadinya proses perubahan digunakan sebagai dasar dalam menghitung dampak gangguan terhadap kondisi hutan sebagai sumber emisi dan serapan GRK. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui aliran karbon antar beragam sumber karbon di hutan dan menduga emisi bersih GRK yang dilepaskan ke atmosfer. Untuk lahan gambut, emisi dari oksidasi biologis dan kebakaran diduga berdasarkan faktor emisi spesifik Indonesia selain nilai standar IPCC untuk areal lahan gambut yang terkena dampak. Pendugaan emisi GRK gambut akan disempurnakan ke depan menggunakan metode Tier 3 seperti halnya pada komponen lahan hutan saat ini.
Hasil analisis menunjukkan adanya variasi tahunan yang signifikan dalam emisi dan serapan GRK dari hutan dan lahan gambut di Indonesia; yang mencerminkan dampak pengelolaan lahan masa lalu, praktik pengelolaan yang berjalan dan fluktuasi kondisi cuaca, khususnya pada tahun-tahun kering dengan kejadian kebakaran yang lebih tinggi. Emisi bersih GRK yang dilaporkan mencakup semua jenis lahan, sumber karbon, gas terkait dan aktivitas di semua tingkatan.
Tahun dengan catatan emisi GRK tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan total 1,5 Gt CO2-e, dan terendah terjadi pada tahun 2001 dengan total 0,8 Gt CO2-e. Secara umum, emisi dari oksidasi biologis lahan gambut merupakan sumber emisi terbesar. Tiga provinsi yang memiliki rata-rata emisi tertinggi adalah Riau, Kalimantan Tengah dan Papua.
Emisi dari komponen hutan dari aktivitas REDD+ (tidak termasuk emisi dari tanah/ gambut) didominasi oleh degradasi hutan. Tahun dengan emisi tertinggi akibat degradasi hutan tercatat di tahun 2006, sebanyak 0,53 Gt CO2-e emisi GRK dilepaskan ke atmosfer di Indonesia. Terdapat fluktuasi emisi GRK yag signifikan dari aktivitas REDD+ lainnya, hal ini sebagian karena definisi yang dibangun untuk tiap aktivitas.
Emisi bersih GRK dari lahan terdeforestasi mencapai titik tertinggi dengan nilai total 288 juta t CO2-e pada tahun 2009 dan terendah 28 juta t CO2-e pada tahun 2001. Emisi bersih GRK dari lahan yang menjadi subjek pengelolaan hutan berkelanjutan berkisar antara 1,4 juta t CO2-e pada tahun 2001 hingga 11,6 juta t CO2-e pada tahun 2009. Peningkatan stok karbon hutan menyerap sebesar 126 juta t CO2-e GRK selama periode tahun 2001 hingga 2012.
Emisi tahunan lahan gambut (diperhitungkan dari oksidasi biologis dan kebakaran gambut) mencapai rata-rata sebesar 395 juta t CO2-e selama periode 2001-2012, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006, sebesar 502 juta t CO2-e. Emisi tanah mineral (dari sumber karbon organik tanah) rata-rata sebesar 8 juta t CO2-e selama periode analisis, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006, sebesar 17 juta t CO2-e.
INCAS menghasilkan perhitungan lebih rinci sehingga hasilnya diharapkan lebih bermanfaat dibanding pendekatan perhitungan GRK lain yang lebih sederhana (misalnya menggunakan metode Tier 1 atau 2). Selain hasil yang sudah dikemukakan di atas, emisi dan serapan GRK tahunan dapat dihasilkan berdasarkan tipe hutan, fungsi hutan, jenis tanah, penggunaan lahan selanjutnya dan sumber karbon. Lebih jauh lagi, dengan hasil dari INCAS ini, untuk pertama kalinya profil emisi GRK nasional Indonesia dapat dipilah kedalam elemen-elemen pembentuk perubahan stok karbon hutan; emisi non-CO2 dari pembakaran biomassa; emisi CO2 dan non-CO2 dari tanah mineral; oksidasi biologis, emisi N2O langsung, karbon organik terlarut (dissolved organic carbon) dan emisi CH4 dari lahan gambut terganggu; serta emisi CO2 dan non-CO2 dari kebakaran gambut.
Hasil yang disajikan dalam dokumen ini merupakan perhitungan level nasional emisi dan serapan GRK tahunan terlengkap dari hutan dan lahan gambut yang pernah dilaporkan di Indonesia. Untuk pertama kalinya pula emisi dan serapan GRK dihasilkan dan disajikan untuk setiap aktivitas utama REDD+ di Indonesia. Tingkat kerincian ini menjadi informasi terpercaya untuk mendukung para pengambil kebijakan di Indonesia dalam membuat keputusan mengenai pengelolaan profil emisi GRK serta merancang aksi mitigasi yang sejalan dengan kebutuhan nasional lain, termasuk kegunaannya dalam merencanakan pemanfaatan lahan berkelanjutan. 2015 Haruni Krisnawati, Rinaldi Imanuddin, Wahyu Catur Adinugroho, Silver Hutabarat